Mengungkap ” Benang Merah ” Kasus Persekusi Miftahul Syamsir (MS) II

PEKANBARU – Sebagaimana sudah disampaikan oleh Irjend. Pol. Muhammad Iqbal pada (11/10/22) ” Kawan-kawan PW MOI silahkan tulis, saya sudah memerintahkan bahwa pelaku pengeroyokan ditindak tegas, ” sebut Kapolda Riau.

Namun disatu sisi, faktanya narasi radikal dan ujaran kebencian yang menjadi pemicu persoalan justru dimuat dimedia massa dan bergentayangan diruang – ruang publik.  

Baca : BREAKING NEWS! Selain Kasus Banjir, Pekanbaru Dikenal Sebagai Negeri Seribu Parkir

Dikutip dari narasi berita yang diterbitkan mediageser.com (7/10/22) tersebut diatas, terdapat kata-kata mutiara seperti ” memble, mempertontonkan kebodohan, tak becus, sok sok an, angguk-angguk macam orang bingung, pekak dan lainnya.

Dalam bincang-bincang rombongan safari jurnalistik PWI Kabupaten Tulang Bawang Barat diruang rapat utama Dewan Pers, kamis (1/3/18) Wakil Ketua Dewan Pers pernah menyampaikan.

” Jika wartawan itu melanggar UU No 40 Tahun 1999, tidak patuhi KEJ, seperti membuat berita tanpa konfirmasi, pemberitaan tidak berimbang atau sepihak, mengandung kalimat negatif, maka pihak terkait boleh menerapkan hukuman diluar UU Pers. ” sebut Ahmad Johan.

Baca : https://newslampungterkini.com/news/16811/dewan-pers-tidak-ada-perlindungan-hukum-bagi-wartawan-abal-abal-yang-melanggar-kode-etik.html

Terkait kasus tersebut, sejumlah pihak justru berdalih bahwa hal itu adalah kritik, namun Bagus Sudarmanto dalam desertasinya yang berjudul ” Perilaku Sibernomie dan Tindakkan Persekusi di Era Post Truth ” justru membuatnya didapuk menjadi doktor bidang kriminologi.

Hasil penelitian DR. Bagus tersebut menemukan, bahwa sibernomie bukan hanya memantik persekusi, tetapi juga bisa tidak memantik persekusi.

” Faktor penyebab ada tidaknya persekusi adalah ruang, waktu dan konteks saat ujaran berbahaya diunggah diruang medsos, ” sebut mantan Pimred Harian Terbit Jakarta 1993 – 1995.

Baca : Sibernomie Potensial Seret Kekerasan Dunia Maya ke Ruang Nyata

Walaupun dalam konfirmasi (12/10/22), LY yang sudah berpuluh kali dilaporkan oleh berbagai element masyarakat Riau tersebut membantah menulis statement MS pada berita yang jadi pemicu kasus persekusi tersebut.

Namun dari hasil penelusuran kami, LY sering memberikan rilies tulisannya ke sejumlah wartawan media online untuk dinaikkan berita, padahal LY selalu menyatakan dirinya aktivis, bukan wartawan.

” Disaat tulisan berisi kata-kata mutiara ujaran berbahaya tersebut diunggah tanpa sensor keruang publik, maka dengan sekejap bisa berpotensi jadi persoalan didunia nyata, ” ungkap wartawan yang kerap memperhatikan gaya bahasa LY.

Baca : Ketum FKPMR Imbau Polda Riau Proses Hukum Pernyataan Provokatif Larshen Yunus Terhadap Tokoh Riau

Dikutip dari jurnal Dewan Pers edisi 2018, diperkirakan terdapat 47.000 media se Indonesia, 43.300 diantaranya media online. Itu data tahun 2018, anda bisa bayangkan hari ini jumlahnya berapa.

Timbul pertanyaan, ” dengan masifnya pertumbuhan media online, apakah dibarengi juga dengan wartawan yang kompeten !? atau malah ditunggangi oleh penumpang gelap kemerdekaan pers ?! “

Baca : Dewan Pers : Ada Penumpang Gelap pada Kebebasan Pers Saat Ini

Bahkan dalam sebuah acara daring berjudul ” Meneguhkan Profesionalisme Media dan Kebebasan Pers ” (4/8/21) mantan Ketua Dewan Pers sempat menyentil.

“caranya, kalau dia (wartawan) ketemu ‘perkoro’ (perkara), mindset-nya cuma satu, yaitu how to solve the problem, bukan how to create the problem, ‘senengane nyari perkoro, ” ungkap M Nuh. Nah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *