Oleh : Habiburrahman
OPINI – Permasalahan keluarga, sosial, kekerasan, bullying hingga penceraian sering kali meninggalkan dampak traumatik (Crisis Intervention) yang sangat mendalam kepada anak dan remaja. Traumatik akibatnya akan menimbulkan berdampak kepada aktivitas-aktivitas perilaku yang muncul seperti depresi, penyangkalan, malu, ketakutan, kesedihan, membolos, mimpi buruk, berbohong dan psikosomatis.
Oleh sebab itu dampak dari masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja harus segera diatasi dengan Intervensi yang tepat. kerna trauma merupakan suatu luka baik yang bersifat fisik, jasmani maupun psikis dan dapat menimbulkan gangguan kecemasan.
Tujuan dari konseling krisis adalah guna memberikan bantuan segera dalam berbagai bentuk kepada orang yang membutuhkan misalnya permasalahan psikologis, keuangan dan hukum. Apa yang terjadi selama krisis menentukan apakah krisis akan menjadi wadah penyakit yang akan berubah menjadi kondisi yang kronis dan bersifat jangka panjang atau tidak. Pada awalnya konselor menggunakan teori dasar krisis untuk membantu orang dalam krisis mengenali dan membetulkan penyimpangan afektif, tingkah laku, kognitif yang disebabkan peristiwa traumatis.
Foto Ilustrasi / Remaja dalam keadaan tertekan depresi dan frustasi
Teknik yang digunakan dalam konseling krisis sangat beragam sesuai tipe krisis dan akibat yang ditimbulkannya. apa yang dilakukan seorang pekerja krisis (Konselor) dan kapan dia melakukannya tergantung pada hasil penilaian terhadap pengalaman krisis seseorang. teknik diterapkan antara lain mendefinisikan masalah yaitu mengeksplorasi dan mendefinisikan masalah dari sudut pandang klien, menggunakan teknik mendengarkan dengan aktif, termasuk pertanyaan terbuka, memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan klien secara verbal maupun nonverbal, memastikan keselamatan klien yaitu menilai tingkat bahaya, kritis, imobilitas, atau keseriusan ancaman terhadap keselamatan fisik, dan psikologis klien dan jika perlu memastikan bahwa klien menyadari alternatif lain selain tindakan impulsif yang dapat menghancurkan diri sendiri, menyediakan dukungan yaitu berkomunikasi dengan klien bahwa pekerja krisis adalah sosok pendukung yang tepat dalam memberi solusi kepada klien (dengan kata-kata, suara dan bahasa tubuh) keterlibatan personal yang penuh kasih sayang, positif, non-posesif, tidak menghakimi dan menerima.
Selain itu, alternatif lain guna membantu klien dalam mengeksplorasi pilihan- pilihan yang dia punyai saat ini, memfasilitasi pencarian dukungan situasional yang mendesak, mekanisme bertahan dan pikiran yang positif, serta membuat rencana dalam membantu klien mengembangkan rencana jangka pendek yang realistis.
Langkah seperti ini dapat dimiliki dan dipahami oleh klien, mendapatkan komitmen yaitu membantu klien berkomitmen terhadap dirinya sendiri untuk menentukan tindakan yang positif yang dapat dimiliki dan dicapai atau diterima oleh klien secara realistis.
Inilah peran penting konselor yang bekerja pada kondisi krisis merupakan individu yang matang kepribadiannya dan membunyai banyak pengalaman kehidupan yang telah di hadapinya. Konselor harus mempunyai keahlian dasar untuk memberi bantuan, berenergi tinggi, mempunyai refleks mental yang cepat, tetapi juga seimbang, kalem, kreatif, dan fleksibel dalam menghadapi situasi sulit. Konselor sering kali terarah dan aktif dalam situasi krisis peranya cukup berbeda dari konseling biasa.
Konseling krisis sebagai sebuah pendekatan yang arahnya kepada intervensi pada hal-hal yang sifatnya traumatik akan membantu dalam proses penyembuhan. Hal ini berdasarkan tujuan dari konseling krisis yaitu memberi bantuan segera dan dalam berbagai bentuk kepada orang yang membutuhkan. Konseling krisis dapat berjalan efektif apabila konselor memiliki kepribadian yang matang, pengalaman dan keahlian dasar untuk memberi bantuan, benergi tinggi, mempunyai reflek mental yang cepat, seimbang, kalem, kreatif, fleksibel dalam menghadapi perilaku yang sulit.
Contohnya kasus sebelum treatment dilakukan: klien mengalami depresi karena kedua orang tuanya bercerai, gejala yang muncul adalah kesedihan dan ketakutan, merasa putus asa dan tidak bahagia.
Proses treatment dilakukan berdasarkan penilaian terhadap kasus yang dialami klien, konselor fokus terhadap traumatik yang dialami dan aktivitas-aktivitas perilaku yang muncul, setelah itu konselor melakukan eksplorasi dan mendefinisikan masalah klien dari sudut pandangnya, memberikan penguatan-penguatan agar klien tetap merasa dirinya didengarkan dan diterima, kemudian melakukan rencana yang realitis, dapat dipahami dan kemudian klien mampu melakukannya secara baik dan positif. Setelah itu dilakukan evaluasi terhadap komitmen dan keputusan dari klien. (Red/**).