Fokus Opini, – Sebagaimana sering saya sampaikan di berbagai tempat terkait masalah padi atau beras, akar substantifnya terletak pada tingkat konsumsi beras orang Indonesia itu paling tinggi di dunia. Dengan demikian kalau tidak segera mengembangkan kebiasaan pada bahan – bahan alternatif seperti ubi – ubian tentu suatu waktu akan menjadi masalah besar, baik karena harganya yang mahal atau barangnya yang memang tidak ada. Selama ini masalah jangka pendeknya hanya diselesaikan melalui mekanisme impor. Persoalannya mau sampai kapan kita bisa bertahan dengan sistem import ini ? Kenapa ? Karena suatu waktu negara – negara yang selama ini mampu mengeksport berasnya ke Indonesia, suatu waktu mereka pun akan mengalami penurunan sehingga kebijakan Pemerintah akan bertumbu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri negaranya masing – masing. Saat “waktu” ini tiba, apa yang biasa dilakukan oleh Indonesia ?
One day no rice tidak diterjemahkan bahwa ada satu hari dalam satu minggu dicoba tidak makan beras saja. Lebih dari itu one day no rice diterjemahkan bahwa suatu waktu beras benar – benar tidak ada di pasar. Lalu orang – orang yang selama ini memiliki ketergantungan makan pada beras mau apa ? Persoalan dasar di tiap negara itu semuanya sama, bahwa lahan – lahan produktif untuk pertanian lama kelamaan akan menyusut karena berubah fungsi menjadi perumahan, pabrik, jalan, dan lain – lain.
Sementara buruh tani juga udah mulai jengah, bosan dan malas kerja di lumpur dengan sengatan matahari yang sangat panas, akhirnya mereka beralih kerja di pabrik, supir, dan lain – lain. Jadi lahan pertaniannya semakin sempit dan di saat yang bersamaan jumlah penduduk tambah banyak. Mereka mau makan apa ? Ingat saat demand naik dan supply turun maka harga pasti akan naik. Jika harga beras perkilo saat ini dikisaran Rp. 12.000 an maka suatu waktu bisa berubah ke angka Rp. 50.000 an. Persoalan kemudian apakah masyarakat mampu untuk membeli beras dengan harga semahal itu ? Untuk sebagian masyarakat mungkin tidak jadi masalah, tetapi sebagian besar masyarakat pasti akan merasa berat. Lalu apa yang akan terjadi jika kondisi sudah seperti ini ? Untuk itulah sejak awal saya sering mewanti – wanti agar masalah perpadian atau perberasan nasional ini benar – benar difikirkan sejak dini. Bukan saja solusi jangka pendek, tapi lebih dari itu harus mau berfikir jangka panjang.
Masalah perberasan tidak bisa diserahkan begitu saja menggunakan mekanisme pasar, karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak yang sangat vital. Sebutir beras saja mengandung makna yang politis yang besar karena beras termasuk komoditas strategis. Semua elemen bangsa sejak saat ini juga harus berfikir keras secara kolektif untuk mencari jalan keluar dengan menggunakan fikiran yang jernih dan akal sehat disertai nurani sebagai anak bangsa yang peduli buat generasi berikutnya. Jangan berfikir asal bisa makan saat ini saja, melainkan berfikir bagaimana menjaga kesinambungan ketersediaan beras buat anak cucu kita kelak.
Jadi nilai strategis masalah perberasan ini terletak pada (1) bahan pangan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, (2) mempengaruhi angka inflasi dan kemiskinan, (3) inti ekonomi rakyat yang mempengaruhi kesejahteraan petani serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dan jika terjadi gejolak pangan yang berkepanjangan bisa mengakibatkan Pemerintahan tidak stabil. Hal ini senafas dengan pokok – pokok fikiran dari UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan serta turunannya.
Perlu diketahui bahwa saat ini sumber beras nasional hanya dipasok oleh 6 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Meskipun terpusat hanya dari 6 provinsi, ternyata sinkronisasi data masih menjadi masalah sehingga menyulitkan dalam melakukan manajemen stock nasional. Lalu berkembang juga terhadap logistic cost karena kita tidak memiliki sentra perberasan nasional. Coba saja kita bayangkan bahwa 67 % beras yang berasal dari 6 provinsi itu semua pengirimannya ke Pasar Induk Beras Cipinang. Kemudian dari Cipinang didistribusikan kembali ke berbagai provinsi, maka sudah pasti beban biaya transportasi akan dibebankan ke harga beras, belum lagi nilai keuntungan yang diambil oleh para pedagang. Ingat satu hal, bahwa mahalnya “harga beras” ternyata tidak proporsional dengan laju kesejahteraan petani itu sendiri.
Dengan demikian masalah sinkronisasi data yang terintegrasi ini harus secepatnya diselesaikan., karena dari tahun ke tahun masalahnya itu – itu saja dan tidak pernah selesai, atau sengaja ada “oknum” yang ingin tidak selesai, karena mungkin bisa meneguk keuntungan atas kekacauan data yang ada. Berfikirnya sangat egoistik, tidak berfikir kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Di samping masalah jumlah produksi beras dan sinkronisasi data, masih ada masalah lain yaitu penyerapan Bulog yang belum optimal karena masih rendahnya harga pokok pembelian yang ditetapkan. Belum lagi masalah gagal panen yang terjadi di beberapa wilayah karena masalah banjir, serangan hama, dan sebagainya. Petani jangan dipandang hanya sebagai produsen atau buruh saja, karena apa yang mereka lakukan lebih dari sekedar panggilan ekonomi yaitu pengabdian pada negeri agar tersedia kebutuhan pangan rakyat dengan harga yang terjangkau. Inilah pahlawan – pahlawan nyata di era pembangunan saat ini.
Merujuk pada berbagai persoalan yang disampaikan di atas, maka solusi yang perlu segera ditempuh adalah (1) Sosialisasi makanan alternatif untuk menurunkan angka konsumsi beras, (2) Efisiensi kegiatan pertanian (tanam, panen dan paska panen) termasuk memperbaiki tata niaga beras yang adil bagi petani, pedagang dan konsumen, (3) Audit dan Sinkronisasi data produksi beras di BPS dan Kementan, (4) Penyederhanaan rantai distribusi untuk menekan harga, (5) Pengembangan Pasar Induk Beras di sentra-sentra produksi beras nasional, (6) Optimaslisasi Peran Bulog dalam operasi pasar melalui peningkatan penyerapan beras petani, (7) Penegakan Hukum terhadap spekulan yang sengaja mempermainkan pasokan dan harga.