Sumbar Berpotensi Gempa Bermagnitudu 8,8 dan Tsunami 5-10 Meter

SUMBAR, Fokuskriminal.com – Sumatera Barat memiliki potensi sangat tinggi terjadi gempa dan tsunami. Bahkan, ancaman tsunami bersumber dari gempa segmen megathrust Mentawai masih ada.

Bahkan jika terjadi hampir sejuta jiwa warga di wilayah pesisir pantai tujuh kabupaten dan kota bakal terkena dampaknya.

Untuk itu, perlu kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat sehingga dampak kerusakan bangunan dan korban jiwa bisa diminimalisasi.

Peneliti Utama LIPI Danny Hilman Natawidjaja mengungkapkan, potensi gempa megathrust Mentawai tetap ada dan masih merupakan ancaman besar.

Megathrust Mentawai adalah satu-satunya segmen yang belum lepas setelah terjadinya rentetan gempa megathrust sejak gempa dan tsunami Aceh 2004.

“Potensi gempa maksimum bermagnitudo 8,8. Tinggi tsunami di pantai Sumbar berkisar sekitar 5 hingga 10 meter,” ujar Hilman seperti dikutip dari Padang Ekspress (Jawa Pos Group), Jumat (25/1/2019).

Dalam pertemuan yang dihadiri Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dan Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi itu, Danny pun mengingatkan longsor bawah laut juga berpotensi menimbulkan tsunami besar di wilayah pesisir Sumbar.

Dia mengaku sudah mempelajari karakteristik dan siklus gempa megathrust Mentawai dengan detail. Hasil studinya lengkap dan publikasinya juga sudah banyak. Sejak gempa 2007, sudah memasuki periode pelepasan. Dan, ancaman terbesar yang bakal terjadi yakni gempa bermagnitudo 8,8.

“Namun kapan terjadinya masih belum bisa ditentukan. Untuk itu, perlu kesiapan seluruh lapisan dalam menghadapi gempa dan tsunami tersebut. Jadi, masyarakat harus paham mitigasi bencana,” tegasnya.

Dari pengamatannya, saat ini masyarakat Sumbar khususnya daerah pesisir pantai belum siap menghadapi gempa dan tsunami. Selain itu, kabupaten dan kota di wilayah pesisir pantai juga masih minim tempat evakuasi atau shelter.

Tujuh daerah pesisir tersebut adalah Kota Padang, Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Padangpariaman, Agam, dan Pasaman Barat. Hal itu menandakan daerah di pesisir belum siap menghadapi gempa dan tsunami.

Secara nasional, Danny menyebut, wilayah Indonesia dipenuhi jalur-jalur sesar aktif gempa di darat dan di laut. Namun, data sumber gempa masih sedikit. Butuh banyak riset serta mitigasi gempa dan tsunami.

“Sistem peringatan dini harus spesifik untuk tiap daerah, disesuaikan karakter sumber gempa-tsunami dan kondisi setempat,” katanya.

Sementara itu Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dody Ruswandi mengatakan, Sumbar termasuk salah satu daerah berisiko tinggi terjadi gempa dan tsunami.

Jika bencana itu terjadi, ada sejutaan jiwa masyarakat Sumbar yang bakal terdampak. Salah satu ancaman nyata adalah megathrust Mentawai.

“Sumbar sudah agak siap menghadapinya jika masyarakat tidak lupa dengan mitigasi bencana yang disosialisasikan pemerintah,” kata Dody.

Mantan Kepala Dinas Prasjal Tarkim Sumbar itu mengingatkan bahwa korban jiwa bukan saja disebabkan oleh gelombang tsunami. Namun juga faktor banyaknya bangunan masyarakat termasuk gedung pemerintahan yang lemah atau tidak tahan gempa.

“Untuk itu upaya yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengingatkan masyarakat begitu pentingnya mitigasi bencana karena masyarakat sering lupa. Saat bencana terjadi masyarakat kalang kabut karena pengetahuan bencana tidak dimiliki,” jelas Dody.

Selain itu, daerah-daerah di pesisir pantai juga perlu shelter yang memadai dan pohon pelindung sebagai penghalang jika terjadinya gelombang tinggi.

Ia juga menyarankan, Sumbar harus belajar dari daerah-daerah yang terkena bencana seperti di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah.

“Informasi kebencanaan juga harus disiapkan di titik tertentu sehingga bisa mengedukasi masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Rahman Hidayat mengatakan, studi penelitian terkait potensi gempa tsunami megathrust Mentawai yang berdampak pada bangunan dan warga pesisir Sumbar sudah lama diketahui. Namun dia justru menilai Sumbar sudah siap menghadapi ancaman bencana tersebut.

“Tinggal bagaimana pemerintah daerah melaksanakan mitigasi bencana yang sudah diterapkan,” kata Rahman.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyampaikan daerah yang dipimpinnya berisiko gempa dan tsunami. Pasalnya, daerah ini berada terletak pada pertemuan lempeng yang bergerak terhadap Pulau Sumatera dengan kecepatan 6-7 cm per tahun.

Jika gempa megathrust Mentawai terjadi, maka diasumsikan tsunami 1797 akan terjadi kembali. Dengan skenario gempa 8,9 SR pada 15 km barat daya Pulau Siberut dan kedalaman 10 km, maka 10 menit setelah gempa bumi, tsunami melanda Mentawai. Menit ke-35, tsunami mulai menghantam Padang. Warga Sumbar yang terancam terkena dampaknya mencapai sekitar 950.272 jiwa.

Gubernur juga memaparkan hasil penelitian LIPI tahun yang menyebutkan adanya ancaman longsor tebing bawah laut Mentawai yang berpotensi memicu tsunami. Jika itu terjadi, maka gelombang tsunami sampai ke Padang dalam waktu 10-15 menit, dan ke pantai timur Siberut dalam waktu lima menit setelah guncangan gempa signifikan berpusat di Siberut.

Penelitian itu merekomendasikan agar didesain ulang penempatan alat monitoring tsunami di pantai barat Sumatera. Sejauh ini, kata Gubernur, shelter untuk evakuasi tsunami di sejumlah kabupaten dan kota masih kurang karena minimnya anggaran.

“Perlu dibangun shelter di pesisir pantai sehingga ketika terjadi bencana dampaknya bisa berkurang,” kata Irwan.

Selain itu, gedung pelayanan publik juga harus memiliki shelter, termasuk rumah-rumah warga juga bisa dibangun menjadi shelter pribadi. Tentunya dengan anggaran masing-masing.

Di samping sosialisasi kebencanaan, dia menganjurkan pengurangan dampak risiko bencana dilakukan dengan penguatan bangunan. Sehingga ketika gempa terjadi, tidak banyak korban berjatuhan akibat tertimpa atau terimpit bangunan yang roboh atau runtuh.

“Untuk bencana itu, mengurangi risiko yang harus kita utamakan,” jelasnya.

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menambahkan, potensi megathrust Mentawai seperti hasil penelitian LIPI mesti disikapi dengan kesiapsiagaan semua pihak yang saling bersinergi. Caranya memanfaatkan anggaran yang ada untuk mitigasi guna mengurangi risiko serta evakuasi jika gempa dan tsunami itu benar-benar terjadi di berbagai daerah.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memaparkan sumber gempa megathrust dan sesar aktif di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta potensi gempa darat sesar Baribis-Jakarta. Sebagai penyedia informasi, pihaknya mengembangkan dan menguatkan sistem monitoring serta peringatan dini gempa dan tsunami secara terintegrasi dengan berbagai perangkat seperti seismometer, accelerometer, GPS, radar tsunami, tide gauges dan buoy.

“Buoy berfungsi mendeteksi ketika terjadi tsunami di lepas pantai belum tiba di pantai. Data buoy dikirim melalui satelit ke pusat peringatan dini tsunami. Untuk meningkatkan keandalan dan mengurangi pengrusakan, buoy bisa digantikan dengan kabel,” imbuh Dwikorita.

Selain itu, BMKG juga mengembangkan sistem diseminasi WRS yang semula sebatas informasi visual melalui tayangan di PC dan SMS menjadi berformat suara melalui jaringan radio VHF. Keunggulannya, jaringan VHF memiliki radius jangkauan sangat jauh, ekonomis, mampu menjangkau berbagai komunitas radio amatir ORARI/ RAPI serta komunitas relawan bencana.

Berikutnya, sistem yang mampu memberikan peringatan dini gempa memanfaatkan selisih waktu tiba gelombang primer (gempa) dan sekunder (merusak). Dalam durasi beberapa derik sesat setelah gelombang gempa bumi terekam sensor-sensor seismograf, sistem akan memberikan perkiraaan lokasi sumber dan magnitudo gempa serta perkiraan tingkat guncangan.

Di sisi lain, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyebut, banyak pekerjaan rumah yang harus disiapkan pemda bersama stakeholder untuk mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami.

Perlu kesadaran bersama berbagai pihak. Sebab, selama ini dinilai sebagian kalangan, cenderung diibaratkan seperti pekerjaan ‘pemadam kebakaran’.  Artinya, langkah-langkah pencegahan atau mitigasi baru sebatas isapan jempol. Misalnya, diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ramah terhadap gempa.

“RTRW ini menjadi pedoman dalam pembangunan daerah. Karena, dalam pembangunan suatu kawasan harus disesuaikan kemampuannya menahan beban. Jika RTRW-nya asal-asalan atau tidak ada sama sekali, maka kita tidak bisa menakar upaya mitigasi yang akan dilakukan,” jelasnya.

Dicontohkannya, dalam hal pembangunan. Jika suatu kawasan rentan terhadap bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi dengan kondisi padat penduduk, maka mesti ada langkah pencegahan. Harus dilarang pembangunan di kawasan itu. Atau, boleh membangun di kawasan itu, tapi dengan berbagai syarat yang ketat dan dituangkan dalam kebijakan mengikat. Misalnya, standar bangunan harus tahan gempa dan memiliki tempat evakuasi.

“Hal itu harus diikuti pengawasan yang ketat. Seperti di Palu, kawasan terjadinya likuifaksi itu sudah diketahui kerawanan sejak lama, tapi masih saja ada pembangunan. Jadi, RTRW yang kita bikin harus pikirkan untuk kita dan masa depan generasi mendatang,” pungkasnya.

Sumber : Padang Ekspress

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *