ICW: Koruptor Hidup Enak di Indonesia

Adnan Topan
Adnan Topan

JAKARTA (FokusKriminal.com) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tak ada upaya dari penegak hukum di Indonesia untuk memiskinkan para pelaku korupsi. Paraktek korupsi di Indonesia dinilai masih memiliki insentif. Artinya para koruptor masih tetap bisa hidup enak di Indonesia, malah para koruptor bisa mendapatkan keuntungan dari perilakunya.

Salah satu keuntungannya adalah masih bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Demikian disampaikan Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat.

“Level pengembalian kerugian negara hanya 4 persen atau dalam catatan kami dari Rp 29,41 triliun, pidana uang pengganti hanya Rp 1 triliun lebih atau sekitar 5 persen,” jelasnya.

Karena itu, kata dia, upaya membuat orang jadi miskin karena korupsi tidak terjadi. Sebab, korupsi tetap miliki insentif di Indonesia.

“Hidupnya tetap lebih enak. Misalnya saya korupsi Rp 50 miliar, dan saya hanya keluar Rp 10 miliar sampai saya keluar (penjara). Saya untung Rp 40 miliar dan tetap bisa jadi caleg dan PNS,” papar Adnan.

Kondisi ini, kata Adnan, yang menjadi kendala dalam membangun pemerintahan yang kredibel dan anti korupsi. Seharusnya pemerintah maupun penegak hukum memikirkan bagaimana membangun disinsentif bagi koruptor, sehingga perilaku korupsi bisa dicegah.

ASN Korupsi Masih Terima Gaji

Dalam kesempatan itu, Adnan juga sempat memaparkan terdapat sekitar 2.000 lebih Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terlibat dalam kasus korupsi.

Namun yang membuat kondisi saat sekarang menjadi sangat memprihatinkan adalah ketika para koruptor tersebut masih menerima gaji dan terus menikmati uang negara.

“Ini menunjukkan sebuah sistem tak menciptakan disinsentif, sehingga orang berpikir perilaku korupsi itu enak,” ujarnya.

Adnan juga menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selalu stagnan ketika menyangkut dua institusi, yaitu pengadilan dan kepolisian.

Kejaksaan tak masuk dalam catatan karena dua lembaga tersebut merupakan dua lembaga yang paling banyak berinteraksi langsung dengan masyarakat.

“Kalau kita lihat survei kenapa upaya memerangi korupsi di Indonesia jalan di tempat, karena pendekatan law enforcement tak melahirkan efek jera. Salah satunya karena penegak hukumnya bermasalah,” ucapnya.

Sumber: Merdeka

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *