Jubir PSI dan Jurkam Jokowi Amin: Swasembada Beras, “Hoax” Rezim Orde Baru

JAKARTA, ( FokusKiriminal.com ) –Baru-baru ini, anak keempat dari Presiden (ke-2) Soeharto, Titiek Soeharto yang tergabung dalam Partai Berkarya yang merupakan partai pendukung pasangan 02, Prabowo-Sandi melontarkan tagline kampanye “Mengulangi kembali swasembada pangan era Orde Baru”.

Tagline kampanye ini ditawarkan ke publik, bertujuan agar rakyat mau kembali bernostalgia memori pembangunan, kesejahteraan, harga murah, situasi aman, tertib ala Soeharto saat berkuasa selama 32 tahun.

Tapi benarkah swasemba pangan khususnya beras saat itu terjadii, benarkah hal itu membuat rakyat khususnya petani diuntungkan lalu menjadi kaya atau setidaknya sejahtera?

“Ternyata jawabannya tidak, bagi saya yang sudah cukup lama berkecimpung didunia ekonomi komoditi (lihat biodata-red), narasi swasembada pangan khususnya beras adalah propaganda politik, pencitraan dari kondisi ekonomi yang dikelola secara bobrok, dan sekaligus hoax alias kabar bohong yang terus menerus digulirkan melalui media pro pemerintah atau setidaknya media yang terpaksa pro pemerintah (kalau tidak pro, maka pemerintah orba melakukan pembredelan-red),” kata Tigor, di Jakarta, Selasa, 27 November 2018.

Jadi jika, Capres dan Cawapres, Prabowo-Sandi beserta tim kampanyenya dengan seribu satu alasan mengatakan bahwa swasembada sebagai sebuah narasi politik, maka pasangan nomor urut 02 ini kembali melemparkan kabar bohong alias hoax yang sudah lama terjadi.

Dan alasan pasangan nomor urut 2 melemparkan narasi politik swasemba pangan, tak lain adalah serangan membabi buta soal import yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Kubu Prabowo Sandi menilai bahwa, era pemerintahan Jokowi sangat banyak melakukan kegiatan import ketimbang ekspor.

Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, upaya pembangunan pemerataan antara kota dan desa diseluruh Indonesia, dan upaya terus menerus mengurangi import bahan baku bagi pasar Indonesia

“Analisis”

Lalu apa kajian dan data yang mendasari kesimpulan bahwa swasembada beras era Orba merupakan kabar palsu atau hoax.

Pertama, di era kepemimpinan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun, Indonesia diopinikan oleh rezim tersebut mengalami masa-masa pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi ini dirasakan segelintir golongan masyarakat karena sebelumnya pada tahun 1966 Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa dimana inflasi mencapai 650%.

Pada era Orba, beberapa pencapaian yang dianggap positif oleh pemerintahan kali ini, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari kestabilan harga, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian dilakukan dengan cara meminjam uang dari pihak asing, salah satunya pada saat itu, pemerintahan Soeharto memasukan Indonesia dalam IMF sebagai negara penerima donor.

Soeharto dan Soekarno memang berbeda. Secara politik, Soekarno bertentangan dengan negara-negara di kubu blok barat, Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden pertama Indonesia itu cenderung memihak blok timur (Rusia dan China).

Sementara Soeharto lebih cenderung memihak blok barat. Terbukti saat dia memutuskan Indonesia kembali bergabung dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya pada 1965 Soekarno memutuskan agar Indonesia keluar dari keanggotaan IMF karena permasalahan politik dengan blok barat.

Keberpihakan Soeharto juga semakin terlihat ketika periode liberalisasi berlangsung yakni sejak 1983-1997. Pemerintah Orde Baru melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian dan pangan.

Dengan memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk menarik investor asing. sampai ke sektor pertanian dengan memproduksi pupuk kimia dan pestisida.

Selama periode ini Bulog memiliki hak monopoli untuk mengimpor beras dan komoditas pangan pokok lainnya seperti gula, gandum, jagung, dan kedelai.

Pencapaian ini tentu bukan perkara mudah, karena swasembada pangan baru dicapai Soeharto setelah 17 tahun memimpin. Artinya, butuh lebih dari 3 periode bagi Soeharto untuk bisa mencapai swasembada pangan.

Belum lagi, Soeharto juga memberikan kewenangan penuh kepada Freeport untuk mengelola sektor tambang di Papua.

Sekedar catatan saja, melansir catatan USAID/Indonesia September 1972, dalam periode 1967 hingga 1971 saja, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu untuk 428 investor asing dengan total nilai investasi mencapai US$ 1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi.

Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai 1,68 juta barel perhari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya sekitar 300.000 barel per hari. Ini yang menyebabkan Indonesia masuk dalam organiasasi OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).

Menurut data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI), kondisi itu memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah.

Namun, pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.

Metode liberal yang digunakan Soeharto memang telah berhasil menciptakan opini prestasi pembangunan Indonesia di Era Orde Baru terutama disektor pangan.

Hasilnya, keberhasilan Soeharto membuka keran investasi yang dikelola secara otoriter membuat propaganda keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras dengan produksi beras sebanyak 27 juta ton pada tahun 1984.

“Karena membela blok barat, Indonesia dianugerahi sebuah medali bertuliskan ”from rice importer to self sufficiency” dari Food and Agriculture Organization (FAO),” tambah pria yang kini menjabat sebagai Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia.

Terlepas dari dampak ketergantungan terhadap modal asing, Indonesia akhirnya terjebak dalam sistem kapitalisme global, serta dampak liberalisasi pertanian yang  justru membuat petani kita semakin terpuruk dan miskin.

Kedua, keberhasilan Soeharto dalam mewujudkan swasembada beras dilakukan dengan metode “pemaksaan” kepada petani, baik itu dari sisi cara, jenis, dan sistem, inilah yang diterapkan oleh Soeharto.

Latar belakang sebagai seorang militer membuat system pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat juga khas sentuhan militer: bersifat instruktif. Soeharto membuat suasana pemerintah ibarat penguasa, sedangkan petani sebagai budak.

Inti dari cara militer yang digunakannya tercermin dalam instruksi presiden yang disalurkan secara top-down ke petani.

Sebagai penyalur informasinya dibentuk organisasi bimbingan massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat sampai desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi untuk menjalankan instruksi di lapangan.

“Perannya sama seperti prajurit di medan perang, yaitu petani tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah akan  memutuskan jenis benih apa yang akan digunakan, berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain,” lanjut Tigor yang juga berperan sebagai juru kampanye pasangan 01, Jokowi-Amin

Kemudian, petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian. Di lapangan, lembaga-lembaga penyuluhan tersebut dibebankan tugas untuk memastikan  apakah petani sudah menjalankan sesuai dengan yang diinstruksikan.

Setiap penyuluh harus memastikan semua petani bimbingannya menjalankan instruksi. Kalau ada petani yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka aparat keamanan akan “mengamankan”nya.

Tak jarang terjadi di lapangan, metode ini dirasakan menjadi semacam pemaksaan dari penguasa kepada rakyatnya. Dalam kepemimpinannya, Soeharto sering menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memecahkan masalah. Berbagai kasus sengketa agraria sepanjang berkuasanya rezim  Orde Baru, penyelesaiannya selalu dengan pola kekerasan, lalu pihak pemerintah selalu cenderung berpihak pada kekuatan modal.

Hal ini menjadi kenyataan yang terjadi pada masa Orde Baru, apabila terdapat kelompok masyarakat yang menolak gagasan pembangunan ataupun melakukan perlawanan, security approach pun dilakukan, dengan segera kelompok tersebut mendapat tuduhan anti pembangunan, melawan negara, PKI, anti Pancasila.

Ini merupakan salah satu dari dampak negative kebijakan Orde Baru, yaitu membuat masyarakat terbiasa dengan doktrin-doktrin ekonomi-sosial-politik, membuat masyarakat kita menjadi tidak kreatif.

“Jadi inilah alasan ilmiah, mengapa swasembada beras pada era orde baru, saya bersama PSI mengatakan bahwa hal tersebut sebagai hoax pada jamannya.Jelas”Tigor Mulo Horas

Laporan : Riski A

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *